Di bawah langit kelabu. Seorang perempuan tua dengan kain lusuh dan mata yang dulu pernah berbinar. Wajahnya menghadap langit, seolah ingin menggugat hujan yang tak kunjung turun, atau mungkin berharap langit runtuh saja agar ia tak perlu lagi berdiri di dunia yang tak adil padanya. Mendung hari itu bukan sekadar awan hitam di langit.
Ada tiga lapis mendung yang menggantung di hidupnya. Mendung pertama adalah rindu pada anaknya yang tak pernah pulang sejak bertahun lalu. Setiap hari ia duduk di tepi jalan, membawa termos teh dan sebakul doa. Ia percaya, sekeras apa pun kota menelan manusia, darah akan tetap mencari pulangnya. Tapi tahun-tahun berlalu, dan jejak anaknya pun lenyap seperti embun. Rindunya tak punya tempat berlabuh, hanya menggantung seperti langit abu-abu yang tak pernah pecah.
Mendung kedua adalah mendung penyesalan. Ia pernah menolak cinta sejati karena memilih lelaki yang salah, yang akhirnya meninggalkannya saat hidup tak lagi menguntungkan. Lelaki yang mencintainya dahulu, yang sabar menanam harapan di ladang kemarau, telah pergi bersama waktu, membawa serta harapan yang tak sempat tumbuh. Penyesalan itu meruah perlahan dalam setiap sunyi, dalam setiap malam yang kejam.
Dan mendung ketiga adalah mendung harapan. Harapan yang tak pernah benar-benar mati, meski berkali-kali dihantam kenyataan. Ia berharap anaknya akan datang, memeluk dirinya dari belakang. Ia berharap ada suara yang akan memanggilnya ibu lagi. Ia berharap rumahnya tak selamanya kosong, dan hatinya tak selamanya sunyi. Tapi harapan itu menggantung seperti lampu yang hampir padam, redup, rapuh. Justru karena ia tak padam, ia menyiksa. Karena ia terus hidup, ia menyayat perlahan.
Dan begitulah ia hidup, di bawah mendung tiga lapis. Tak pernah benar-benar basah, tapi selalu berat. Tak pernah benar-benar reda, tapi tak juga deras. Harapan itu bukan lagi janji tentang sesuatu yang indah, melainkan beban yang tak bisa ditanggalkan. Kadang ia bertanya, mungkinkah harapan memang diciptakan bukan untuk diraih, tapi untuk membuat manusia terus berjalan, meski tak tahu ke mana. Mungkin, harapan bukan tentang sampai, tapi tentang bertahan.
Dan ia dengan seluruh luka dan lapis mendungnya, tetap berdiri. Bukan karena yakin hujan akan turun, tapi karena ia tak tahu cara lain untuk berharap. Ia pernah mencoba berhenti. Pernah mencoba menutup pintu rumahnya rapat-rapat, meyakinkan diri bahwa tidak semua yang pergi pantas untuk ditunggu. Tapi setiap kali angin sore menyentuh pipinya, ia teringat tangan kecil yang dulu selalu menggenggam erat saat ia berjualan di pasar. Dan meski tangan itu kini entah di mana, ia tetap merasa seolah sedang menggenggamnya, di batas antara percaya dan pasrah.
Ia sering bicara sendiri di ruang tamu yang sepi. Bercerita pada kursi, pada dinding berjamur, bahkan pada bayangan dirinya sendiri. Ia merasa, hanya dengan bercerita, ia bisa merajut kembali keping-keping hidup yang berserakan. Di sana, dalam kesepian yang tak ramai, harapannya hidup tak sempurna, tak utuh, tapi cukup untuk membuatnya bangun esok hari.
Orang-orang sering berkata padanya untuk ikhlas. Tapi tak seorang pun tahu, bahwa ikhlas bukan berarti tidak menunggu. Ikhlas adalah menunggu tanpa memastikan, mencintai tanpa memiliki, dan merelakan tanpa membenci. Ia tidak menolak kenyataan, tapi ia juga tidak ingin berpura-pura bahwa hatinya tak lagi menanti.
Suatu malam ia bermimpi. Dalam mimpinya, langit terbuka, cahaya turun perlahan. Ia melihat sosok anaknya berdiri di ambang pintu, tersenyum, memanggilnya dengan suara yang ia rindukan sekian lama. Ia terbangun. Tidak seperti biasanya, hari itu tidak terasa sepi. Mimpinya menyisakan kehangatan kecil seperti api yang cukup untuk menghangatkan.
Dan mungkin, itulah takdir dari beberapa harapan. Bukan untuk dijemput, bukan untuk diwujudkan, tetapi untuk dijaga. Agar manusia tidak kehilangan alasan untuk percaya, bahwa bahkan dalam hidup yang paling gelap, masih ada cahaya yang bersinar. Walau sekadar dalam mimpi, walau hanya sejenak.
Ia kembali duduk di depan rumah, dengan sehelai kain membungkus tubuh renta, memandangi langit yang masih sama. Abu-abu, berat, menggantung tanpa hujan. Mendung tiga lapis. Tapi kini ia tak lagi memandangnya dengan marah. Ia hanya menatapnya dengan tenang, seperti seorang ibu yang memahami bahwa tidak semua anak akan pulang. Namun cinta seorang ibu akan tetap tinggal di bawah mendung, di dalam kenangan, di ruang-ruang kecil yang tak pernah betul-betul hampa.