Everyday route, everyday routine.

Tiap hari, rute yang sama. Jalur rumah, penitipan anak, sekolah, kantor, rumah, laptop, ulang lagi.
Setiap hari kerja, mobil lewat di belokan yang sama, lampu merah yang sama, pos satpam yang sama, salip-menyalip mobil dan motor yang itu-itu juga. Kadang ibuk bahkan bisa menebak mobil di depan bakal belok ke mana. Semua seperti kaset diputar ulang, hanya berganti hari di kalender.

Jam lima pagi. Masih gelap, masih dingin, tapi rutinitas menunggu. Jam enam mulai tampak kehidupan. Suara anak-anak, suara air di kamar mandi, seragam yang belum disetrika, kaus kaki dan botol minum yang entah di mana. Mempersiapkan menu bekal anak-anak, pakaian ganti mereka dan keperluan sendiri. Simpel dan harus cukup untuk energi seharian. Satu tangan menyisir rambut anak yang satu, tangan lain merapikan dasi abangnya. Sarapan kilat jika sempat, lalu buru-buru ke mobil. Jam tujuh lebih sedikit beranjak. Sekolah anak-anak, jaraknya 20 menit kalau lancar. Tapi kadang ada juga macet dadakan terutama saat hujan.

Begitu anak-anak sudah masuk gerbang sekolah, ada sejenak napas lega. Tapi bukan berarti urusan selesai. Itu baru babak pertama. Selanjutnya tentu saja urusan ibuk sendiri. Ke kampus dan ke rumah sakit sesuai jadwalnya. Kadang sempat scroll sebentar media sosial, kadang langsung tenggelam dalam tumpukan file kerjaan. Deadline datang seperti gelombang, tak peduli ibuk sempat sarapan atau belum.

Kadang ibuk berpikir, kapan ya terakhir punya waktu yang benar-benar milik sendiri? Yang tidak disela notifikasi WhatsApp grup sekolah dan grup kuliah? Tapi ibuk sadar sepenuhnya, ini semua juga buat diri sendiri. Ini pilihan ibuk. Buat impian ibuk untuk menjadi versi diri ibuk yang tak berhenti tumbuh, walau jalannya harus sambil membawa bagasi rumah tangga dan pekerjaan sekaligus.

Sore tiba tak terasa, pekerjaan ditutup, tapi tugas belum selesai. Jemput anak-anak, PR menanti. Tempat itu yang disebut rumah sudah menyambut dengan rengekan kucing liar minta makan di halaman dan tumpukan pakaian kotor.

Malam tiba. Saatnya memastikan anak-anak tidur nanti dalam keadaan bersih, sudah sembahyang, dan perut kenyang. Setelah itu saatnya sedikit me time, biasanya dipakai untuk lipat baju, isi ulang galon, cuci-cuci, bersih- bersih sapu lantai yang penuh remah biskuit. Belum lagi kadang-kadang ada pesan dari sekolah. Besok harus bawa topi koboi untuk acara tematik. Ada teman ulang tahun. Kadang-kadang kadonya menyusul, karena pesan terlambat dibaca. Tidak apa-apa.

Badan mulai penat, tapi tetap siaga hingga anak-anak terlelap. Tengah malam, punggung pegal, mata berat. Tapi ada rasa puas di dada karena semua berjalan, semua tumbuh. Esok, ibuk akan bangun lagi. Dengan semangat yang sama, cerita yang sama.

Jam dinding jadi saksi bisu. Jarum-jarumnya bergerak dengan keteguhan yang sama seperti ibuk, putar, dan putar, dan putar. Setiap pukul enam pagi, kegiatan dimulai. Pukul dua siang, laptop ditutup. Pukul enam sore, panci kembali ngebul. Pukul sepuluh malam, tubuh direbahkan. Besok? Ulang dari awal. Pola yang sama.

Rutinitas ini sudah seperti lagu lama yang liriknya ibuk sudah hafal di luar kepala. Melelahkan, iya. Membosankan, kadang. Tapi juga penuh makna. Karena di setiap ulang lagi, ada anak-anak yang semakin tinggi, ada pekerjaan yang terselesaikan, ada mahasiswa yang lulus, ada hidup yang terus bertumbuh. Dan yang paling penting, ada kebebasan finansial. Kepingin membeli sesuatu, tidak perlu izin dulu. Bahkan dapat membantu saudara-saudara sekadarnya.

Jadi, meski jalannya itu-itu lagi, waktunya itu-itu lagi, dan tugas tak ada akhirnya ibuk tetap melangkah. Dengan langkah yang mungkin berat, tapi hati tetap kuat. Diam-diam, tanpa panggung, berusaha untuk konsisten. Ini bukan sekadar rutinitas. Ini adalah perjalanan. Everyday route. Everyday routine. Ternyata bisa juga ya, ibuk menjalani semua ini. Dan itu cukup. Lebih dari cukup.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *