Entah sejak kapan tumitnya menjadi begitu mengerikan, pecah sangat dalam seperti retakan lumpur saat kemarau panjang. Setiap retaknya bercerita tentang berjam-jam menyikat kain di atas genangan air sabun, mencuci puing-puing cerita orang lain. Entah berapa lama dia sudah mencuci sekian banyak, kemeja, celana, seprei, seragam sekolah, gaun, entahlah. Dia terlalu lelah untuk mengingat hal itu. Yang dia ingat hanyalah bagaimana air sabun yang keruh telah mengikis masa lalunya, perlahan semakin menghilang.
Pelajaran hidup memang sangat aneh, batin gadis cuci itu yang tangannya telah keriput sebelum waktunya. Dahulu ia sering menemani kakak pencuci pakaian di rumahnya sambil mengobrol dan memainkan gelembung sabun di kepalan tangan. Saat ini, dialah kakak itu. Demikianlah hidup, sulit ditebak dan harus dijalani dengan banyak ketabahan. Segala keistimewaan bisa hilang sekejap mata. Anak kesayangan telah menjadi jelata. Dia yang dulu punya sangat banyak kemauan, sekarang harus bersyukur masih bisa berjalan dengan kedua kakinya sendiri. Dia yang dulu setiap keinginan dituruti, sekarang harus memahami arti sabar menanti. Hidup bagai roda yang terus berputar. Namun justru di posisi terendah itulah dia belajar bahwa segala kesenangan bisa lenyap kapan saja. Dan ketabahan, sungguh tak ternilai harganya.
Menjadi jelata mengajarkannya pelajaran yang tak didapatkan di bangku sekolah. Dia belajar membaca bahasa mata orang-orang yang terluka, memahami arti sepotong roti, merasakan hangatnya kemanusiaan dari mereka yang sama-sama sedang berjuang. Anak kesayangan mungkin telah hilang, berganti menjadi seorang dewasa. Yang tak lagi bangga pada gelar warisan, melainkan pada luka-luka lepuh di tangannya. Dia belajar bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada kemampuan menghindari badai, tapi pada keberanian untuk tetap berdiri di tengahnya.
Hidup tak pernah berjanji akan adil. Dalam ketidakadilan itulah dia ditempa. Dalam kehilangan itulah dia belajar memaknai. Dalam kesendirian itulah dia menemukan kekuatan yang tak terduga. Maka biarlah roda itu terus berputar. Biarlah hidup terus menguji dengan lika-likunya. Karena yang terpenting adalah seberapa dalam dia bisa memahami bahwa pada akhirnya yang membuat dia benar-benar istimewa bukanlah apa yang dia punya, tapi bagaimana dia tetap berdiri tegak ketika segalanya diambil Sang Pemilik sesungguhnya.
Dia berdiri di tepian pantai, merasakan butiran pasir di antara jari kakinya yang masih menyisakan bekas luka. Menatap ombak yang bergulung-gulung dan terus bernyanyi dengan irama yang sama. Dia menatap horizon, tempat langit dan laut bertemu dalam garis samar. Di sanalah dulu rumahnya berdiri, di sanalah kenangan masa kecilnya tersimpan rapi dalam album-album foto yang kini hilang. Di tengah kepedihan yang tak terucapkan itu, dia tersenyum untuk pertama kali setelah sekian lama. Hari ini, ia telah berdamai dengan takdirnya. Seseorang memang perlu ujian dulu sebelum tumbuh lebih kuat. Seperti mutiara yang butuh butir-butir pasir pengganggu untuk bisa terbentuk indah. Seperti emas yang harus melewati api membara untuk bisa murni.
Seperti air laut yang surut setelah pasang, seperti matahari yang terbit setelah malam, hidup adalah rangkaian perubahan. Dan yang terpenting adalah apa yang tetap bertahan, bukan apa yang telah hilang. Tumitnya yang buruk itu adalah simbol perjuangan. Setiap retakan telah menjadi garis-garis perjalanan yang membuktikan bahwa dia sudah berjalan melampaui batas-batas yang pernah dia bayangkan. Jauh melampaui rasa takut, jauh melampaui keputusasaan, jauh menuju sebuah pemahaman arti hidup. Tumitnya yang sesekali berdarah itu merupakan bukti bahwa dia sudah berjalan cukup jauh menyusuri takdir. Kaki-kakinya yang perih melangkah mantap, membawanya kembali ke tumpukan cucian yang baru.